Penulis: Rusmana, M.Pd/Guru SMA Negeri 1 Pangalengan Kab. Bandung
e-Mail: abuafifi@gmail.com/08121453374
- Prawacana
Sudah menjadi sebuah “kewajaran” bahwa pendidikan di manapun adanya, tidak akan terlepas dari paradigma (cara pandang atau frameworks) yang digunakan dalam sistem pendidikannya. Pada zaman kita dijajah Belanda ataupun Jepang, mereka kaum penjajah sudah barang tentu mempunyai paradigma pendidikan yang disesuaikan dengan cita-cita dan tujuan mereka sebagai penjajah. Sehingga dalam praksis pendidikannya mereka sangat berkepentingan untuk mencegah lahirnya pemahaman kritis, sebab hal itu akan sangat berbahaya mengancam eksistensi mereka di tanah jajahannya. Demikian pula dengan paradigma pendidikan kita. Sebagai negara yang besar, tidak ada satu jaminanpun yang menegaskan negara kita akan “eksis” sebagai sebuah negara. Pendidikanlah yang menjadi tumpuan eksistensi kita di masa yang akan datang. Ketepatan kita menentukan paradigma pendidikan saat ini, akan sangat menentukan pula keberhasilan kita mempertahankan eksistensi sebagai sebuah bangsa di masa yang akan datang.
Penulis mencoba berkontribusi melalui “dialog imajiner” dengan beberapa tokoh pendidikan Indonesia dalam upaya menggali pemikiran mereka tentang konsep pendidikan yang pada akhirnya dapat dijadikan umpan balik sebagai bagian dari mempertegas paradigma pendidikan kita yang sudah ada dan disepakati baik secara formal yang tertuang dalam undang-undang, ataupun yang tersirat hidup berkembang di masyarakat dalam bentuk etnopaedagogi untuk diakomodir sebagai khasanah kekayaan intelektual bangsa dalam rangka menyosong 64 tahun peringatan hari pendidikan nasional kita merujuk pada Kepres 316 tahun 1959.
- Paradigma Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa
Mendefinisikan paradigma dapat diartikan sebagai konsepsi, model atau pola pemikiran yang bersifat umum dan mendasar. Paradigma bukanlah teori, melainkan merupakan pemikiran yang teoritis menuju pada pengembangan teori tentang sesuatu, dan pemikiran teoritis ini menjadi dasar fundamental bagi praktek di lapangan pendidikan (dalam kontek tulisan ini).
Paradigma pendidikan itu sendiri merupakan pemikiran teoritis yang sifatnya mendasar dan digunakan sebagai latar belakang tersusunnya suatu framework untuk pelaksanaan pendidikan. Pada umumnya, paradigma itu dinyatakan dalam bentuk skema, yang memperlihatkan hubungan antara unsur – unsur yang terlibat didalamnya. Perlu digaris bawahi, paradigma bukanlah sistem, melainkan dalam suatu sistem terdapat sejumlah paradigma, yang berisikan konsep dasar dalam pelaksanaan sistem itu. Tetapi, sebuah paradigma dapat berkembang menjadi sebuah sistem.
Perubahan sebuah paradigma sangat bergantung pada sejauh mana kebenaran paradigma itu masih dapat diterima. Kuhn (2012:22) mengatakan bahwa proses pengembangan sains akan mengikuti paradigma yang dimulai dengan tahap “pra sains”, diikuti tahap “sains normal” lalu periode “sains luar biasa”, lalu tahap “sains normal” kembali dan seterusnya layaknya sebuah siklus. Kuhn berpendapat bahwa proses itu merupakan lingkaran kegiatan dan demikian terjadi struktur revolusi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sebuah paradigma dapat berubah menjadi paradigma baru ketika paradigma lama itu didapati kelemahannya.
Sesuai dengan perkembangan zaman, paradigma pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan kepada paradigma yang tepat dan operasional. Menurut Suparjo (2014: 195), sistem pendidikan nasional yang relevan adalah yang selalu melakukan pengembangan serta penyempurnaan terhadap suatu kurikulum yang dilakukan secara berkesinambungan atau terus berkaitan dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara pendapat Efendy (2018: 39) menyatakan adanya perubahan paradigma pendidikan yang menyesuaikan dengan kondisi masa kini yaitu perubahan pada paradigma yang mengatakan bahwa guru menjadi pusat dalam proses pembelajaran bergeser pada paradigma baru yang menjadi peserta didik sebagai pusat/sentral dalam proses pembelajaran. Dapat ditarik benang merah dari kedua pendapat di atas bahwa, perubahan paradigma pendidikan itu disesuaikan dengan kondisi masa kini dan bisa di implementasikan pada masa yang akan datang.
Merunut pada sejarah, pendidikan di Indonesia memiliki berbagai perubahan paradigma sesuai dengan keadaan yang terjadi. Rentang waktu di era merdeka sampai tahun 1965, pendidikan Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Namun, seiring dinamika kehidupan politik setelah tahun 1966, pendidikan di Indonesia sudah dipengaruhi oleh sistem pendidikan Amerika yang menghasilkan output yang memiliki sifat mentalitas jalan pintas, sistem pendidikan hanya untuk mentransfer ilmu pengetahuan saja, dan memiliki sifat yang individualistik dan konsumtif. Selanjutnya di era orde baru (1965-1998) ada sedikit kemajuan dalam pendidikan Indonesia sekalipun tidak terlalu signifikan yaitu mengenai kemajuan-kemajuan secara kuantitatif saja. Namun demikian secara kualitatif masih belum terlihat baik itu dari peningkatan mutu sumber daya manusia, belum adanya peningkatan pada tingkat kedewasaan yang berupa nilai kejujuran, kebenaran dan tanggung jawab serta masih tingginya nilai pengangguran (Hasnah, 2012).
Satu hal yang perlu kita maklumi bahwa salah satu perubahan penting dalam sistem pemerintahan di Indonesia di era reformasi adalah perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi yang ketat menjadi sentralisasi terbatas yang dikenal dengan otonomi pemerintah daerah (Otda), yang memberikan kewenangan terbatas pada pemerintah daerah memiliki otonomi daerah untuk membangun daerahnya dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, di mana sistem pendidikan nasional yang selama ini dilaksanakan secara sentralistis, dengan paradigma pemerintahan otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengembangan patadigma pendidikan masing – masing (sekalipun masih dibatasi oleh aturan/undang-undang pada bagian tertentu).
Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita hanya memiliki satu sistem pendidikan yaitu sistem pendidikan nasional, memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan tujuan nasional itu sendiri. Sistem pendidikan nasional merupakan refresentasi dari paradigma pendidikan yang menjadi bingkai cita-cita bangsa sekarang dan masa yang akan datang.
- Konsep “Gakojamasi”
Kita mengetahui beragam konsep pendidikan yang dapat dijadikan sebagai rujukan peletakan dasar-dasar pendidikan atau paradigma pendidikan di negara kita. Bagaimana kelanjutan atau implikasinya bagi kebaharuan paradigma pendidikan di masa yang akan datang?. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis mencoba merumuskan langkah-langkah sebagai upaya menyebarluaskan informasi konsep pendidikan yang kita miliki untuk kemudian dijadikan materi kajian dalam mempertegas paradigma pendidikan negara kita tercinta. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi tiga tahapan, tahap reinventaris, revitalisasi dan tahapan rekonstruksi (Rusmana, 2021).
Dalam setiap tahapan terdiri dari beberapa langkah penjabarannya. Tahapan reinventaris meliputi langkah gali ulang (galang), dan koleksi ulang (kolang). Tahapan revitalisasi meliputi langkah pelajari ulang (jalang) dan maknai ulang malang. Sedangkan tahapan rekonstruksi meliputi langkah silang (integrasikan ulang) dan internalisasikan. Guna memudahkan mengingat seluruh tahapan 3Re (Reinventaris, Revitalisasi, dan Rekonstruksi), tahapan-tahapan ini penulis namai dengan “GAKOJAMASI” yang merupakan akronim dari GAlang, KOlang, JAlang, MAlang, dan SIlang (Rusmana, 2021).
Gambar 1 Skema Implikasi Konsep pendidikan sebagai Upaya Mempertegas paradigma pendidikan
Dalam tahap inventarisir, langkah pertama yang dilakukan adalah menggali ulang nilai-nilai konsep pendidikan yang ada dan berkembang di masyarakat melalui kajian yang mendalam dengan melibatkan tulisan para ahli, praktisi dan tokoh masyarakat adat serta pemerintahan dalam hal ini Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristekdikti, dengan tujuan memperoleh informasi tentang konsep pendidikan yang masih ada ataupun yang sudah ditinggalkan oleh dunia pendidikan kita. Pada tahapan ini, inventarisir sebanyak-banyaknya konsep pendidikan yang bernilai positif serta kelompokkan berdasarkan kepentingan dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Tahapan berikutnya merupakan kelanjutan dari tahapan galang, yakni mengoleksi ulang nilai-nilai konsep pendidikan tersebut untuk dapat dipetakan manfaat dan kegunaannya dalam konteks mempertegas paradigma pendidikan .
Setelah memperoleh informasi pada tahap inventarisir, langkah berikutnya adalah melakukan revitalisasi nilai-nilai yang diperoleh melalui tahapan pelajari ulang dan integrasikan ulang. Dalam tahapan pelajari ulang, informasi konsep pendidikan yang diperoleh dikaji mendalam kebermanfaatan, kepraktisan dan kemungkinan pemanfaatannya pada masa sekarang, sehingga dari tahap ini, diperoleh informasi yang lebih akurat dan spesifik serta kemungkinan operasional di lapangan terkait dengan proses mempertegas paradigma pendidikan. Pada tahapan berikutnya, maknai ulang, informasi yang telah kita peroleh sebelumnya haruslah dimaknai ulang tentang cara merasionalisasikannya dalam kontek kekinian dan di sesuaikan dengan perkembangan pendidikan kekinian, sehingga mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh dunia pendidikan itu sendiri. Libatkan pula referensi lain yang memungkinan konsep pendidikan yang ditemukan diterima dengan baik serta adaptif terhadap kondisi kekinian tanpa meninggalkan esensi dari konsep pendidikan yang sudah ada.
Proses berikutnya merekonstruksi ulang, melalui tahapan pengintegrasikan konsep atau pemikiran tokoh pendidikan tersebut ke dalam taksonomi Bloom yang menjadi rujukan. Misalnya menarik benang merah antara konsep taksonomi Bloom dengan pada domain kognitif dengan konsep atau pemikiran para tokoh terkain pendidikan yang menjadi persfektif mereka serta kesesuaiannya dengan konteks kekinan. Guna memudahkan dalam membandingkan dan mencari benang merah antara keduanya (taksonomi Bloom dengan pemikiran para tokoh pendidikan) gunakan pentabelan dalam menampilkan data atau informasi
Mengurai Konsep Pendidikan Para tokoh Pendidikan Indonesia
- Rd. Dewi Sartika
Berangkat dari keprihatinan melihat keterbelakangan kaumnya akibat pelecehan baik oleh kaum kali-laki, perlakuan adat istiadat, serta pandangan “kolot” masyarakat tentang kaum perempuan membuat Raden Dewi Sartika memiliki cita-cita tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Baginya, kaum perempuan harus hidup sejajar dengan kaum pria, ia harus memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang akan membawanya pada taraf hidup yang lebih tinggi, dan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya yaitu dengan pendidikan.
Didapati fakta yang kuat bahwa Kaum Tua sangat keberatan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Kekhawatiran dan ketakukan mereka untuk membiasakan anak setiap hari bergaul dengan banyak orang, didukung pula persepsi mereka selama bersekolah anak-anaknya berada di luar pengawasan orang tua. Mereka pun tidak mempunyai kepastian bahwa anak mereka bersama dengan teman-teman yang baik. Dalam pandangan mereka pendidikan sekolah membangkitkan sikap bebas pada sang anak, berakhir pada perilaku anak mereka akan lebih mudah tergoda untuk berbuat jahat. Di samping itu juga mereka tidak rela melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, seyogianya mereka tidak pernah bersekolah, akan tapi mereka mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Pandangan kolot para orang tua pada saat itu terhadap pendidikan menjadi salah satu penyebab keterbelakangan kaum perempuan dalam pandangan Rd. Dewi Sartika. Pengalaman hidup beliau yang mendapati keterbelakangan kaum perempuan di sekitar hidupnya di mulai dari korban poligami, ketidakberdayaan menerima perlakuan kasar dari para suami atau pun perlakuan lainnya yang diterima kaum perempuan sebagai dampak dari rendahnya tingkat pendidikan di banding kaum lelaki pada saat itu. Selain itu sebagian besar orang berpendirian bahwa pendidikan untuk anak-anak perempuan dirasa tidak perlu karena para orangtua belum mengetahui benar manfaatnya sekolah, mereka menganggap di sekolah itu hanya diajarkan menulis, membaca dan berhitung. Sebenarnya tidak hanya itu, karena masih banyak lagi mata pelajaran pokok yang perlu bagi keutamaan hidup manusia, agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mencari jalan hidup ketika tidak ada yang memberi nafkah untuk menjaga keselamatan, menghindari bahaya dan lain sebagainya.
Di usianya yang masih muda (18 tahun) pada 1904, Rd. Dewi Sartika memberanikan diri mendirikan sekolah untuk kaum perempuan pertama di Indonesia sebagai perwujudan keinginan beliau memajukan harkat martabat kaumnya melalui pendidikan. Dengan segala keterbatasan dan beragan hambatan, sekolah “Kautamaan Istri” tampil sebagai bagian dari perjuangan dalam kesetaraan memperoleh pendidikan bagi kaum perempuan . Baginya, kemajuan bangsanya bahwa agar suatu bangsa bertambah maju, maka kaum perempuannya harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum perempuan itu akan menjadi ibu. Seorang ibu lah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan, karena didikan yang pertama lah yang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan seseorang. Jadi kaum perempuan bangsa pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang segala macam urusan perempuan, karena menurutnya mendidik perempuan adalah mendidik ibu bangsa.
Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan tersebut mengandung makna bahwa suatu bangsa tidak akan mencapai suatu peradaban tinggi jika kaum perempuannya tidak maju, dan agar perempuan maju maka ia harus diberikan kesempatan untuk disekolahkan, karena dengan bersekolah kaum perempuan akan beroleh beragam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang menjadi bekal untuk memajukan bangsa. Erat kaitannya dengan konteks saat itu pada masa penjajahan. Jika bangsa Indonesia ingin bebas dari penjajahan, kaum perempuannya harus maju dan berpengetahuan luas, sehingga rakyat tidak dapat dibodohi oleh penjajah.
Di sekolah Kautamaan Istri yang didirikan oleh beliau, tidak hanya diajarkan menulis, membaca dan berhitung. Tetapi, masih banyak lagi mata pelajaran pokok yang perlu diajarkan bagi keutamaan hidup manusia, agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mencari jalan hidup ketika tidak ada yang memberi nafkah untuk menjaga keselamatan, menghindari bahaya dan lain sebagainya. Berikut tabel mata pelajaran pokok yang diajarkan di sekolah Kautamaan Istri.
Dalam pandangan Rd. Dewi Sartika anak yang rajin menyelesaikan proses persekolahan sampai pada tahapan yang telah ditentukan, baik anak perempuan maupun laki-laki diharapkan berwujud menjadi orang yang baik seperti dalam ungkapan beliau yang orang Sunda, yaitu cageur (sehat), bageur (baik), pinter (pintar), bener (baik), dan singer (kreatif dan cekatan). Dalam konsep Teori etnopedagodik kegiatan pendidikan dan pembelajaran ini dicapai untuk memasuki gapura pancawaluya (gerbang lima kesempurnaan). cageur merupakan keadaan sehat, baik sehat jasmani maupun sehat rohani atau sehat lahir dan batin. Bageur merupakan keadaan atau karakter yang baik hati, sederhana, dan tidak sombong (teu adigung adiguna, teu gede hulu). Bener merupakan keadaan atau karakter manusia yang benar, yakni taat pada hukum dan menjalankan syariat agama. Pinter merupakan keadaan atau karakter manusia yang memiliki ilmu pengetahuan (Luhur ku elmu, sugih ku pangarti). Singer merupakan keadaan atau karakter manusia yang terampil atau piawai (Daryono, 1998), yakni manusia yang serba bisa (masagi) atau banyak keterampilannya (Jembar ku pangabisa) dan bersifat AKI (aktif/rapékan), kreatif (rancagé), dan inovatif (motékar).
Merujuk uraian konsep pendidikan Rd. Dewi Sartika di atas, maka kelima tujuan pendidikan sekolah Kautamaan Istri tersebut memiliki keterkaitan dengan tiga ranah pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif atau pengetahuan berkaitan dengan pinter, psikomotor berkaitan dengan singer, dan afektif berkaitan dengan cageur, bener, dan bageur.
Gambar 2 Konsep Pendidikan Rd. Dewi Sartika
- KH. Ahmad Dahlan
Bila diruntut dari sejarah panjang perjuangan Kiai Haji Ahmad Dahlan (KH. Ahmad Dahlan) pendidikan dan dakwah adalah dua komponen utama penopang keberhasilan beliau dalam memperjuangkan cita-cita besarnya dalam membangun dan mewujudkan umat dari keterbelakangan, di sinilah nampak beliau begitu bersemangat dalam melakukan terobosan guna terlaksananya pembahuruan pendidikan melalui kedua elemen tersebut.
Dalam catatan sejarah, KH. Ahmad Dahlan dalam merintis pendidikan telah dimulai sejak 1 Desember 1911. Jauh sebelum tahun 1926 ketika pemerintah Hindia Belanda menerapkan ordonasi, beliau melalui Muhamadiyah secara tegas menolaknya. Disamping beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama di wilayah sekitarnya, beliaupun turut dalam berdakwah menyebarkan nilai-nilai keagamaan dan pelajaran umum kepada para anggota Muhammadiyah. Beberapa waktu setelah terbentuknya organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan berinisiatif mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal sebagai Madrasah Mu’alimat. Di sekolah ini beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum dan cita-cita pembaharuannya.
Dalam buku “Sejarah Pertumbuhan dan Perubahan Pendidikan Islam di Indonesia” Putra Dulay (2007:34) menjelaskan beberapa indikasi bahwa pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaharuan, yaitu sebagai berikut.
- Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi belajar dengan tahun.
- Mata pelajaran adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Tidak diajarkan mata pelajaran umum.
- Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan dan mudzakarah.
- Ijazah sebagai bukti telah menyelesaikan atau menamatkan pelajaran bukanlah menjadi hal yang penting, jadi belajar semata-mata bertujuan untuk mencari ilmu dan ridha Allah.
- Tradisi kehidupan pesantren amat dominan bagi kalangan santri dan kyai.
Berangkat dari sinilah, KH. Ahmad Dahlan melihat kondisi sosial pendidikan umat islam pada waktu itu jauh tertinggal, ia merasa tergerak untuk melakukan aktivitas yang menerapkan sistematika kerja organisasi serupa dengan konsep barat. Melalui pelembagaan amal usahanya, beliau melakukan upaya menangkal budaya atas penestrasi pengaruh penjajah Belanda dalam kebudayaan, peradaban dan keagamaan, utamanya adalah intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan misi “zending” yang disponsori oleh pemerintah Belanda di Indonesia.
Seyogiannya, system pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah berupaya untuk mengintegrasikan antara sistem pendidikan pesantren dan system pendidikan barat dalam bentuk lembaga sekolah. Bahkan modernism Muhammadiyah dalam bidang pendidikan jauh mengalahkan perguruan al-Ahzar Kairo, yang pada waktu bersamaan masih menerapkan system pendidikan tradisional Islam. Demikian bentuk usaha pembaharuan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan melalui organisasi Muhammadiyah yang sampai sekarang memiliki beragam amal usaha baik di bidang pendidikan, kesehatan, social dan bidang dakwah lainnya di Indonesia, bahkan di beberapa negara Asia serta Eropa.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, pendidikan haruslah terintegrasi antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan Spiritual (SQ), kecerdasan Emosional (EQ), dan kecerdasan Sosial (ScQ) yang terimplementasikan dalam empat pilar yaitu:
- Integrasi ilmu dengan amal;
- Integrasi ilmu umum dengan ilmu agama;
- Kebebasan berpikir, dan
- Pembentukan karakter.
Pandangan beliau, ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan. Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam, pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah. Baginya, mejadi suatu keharusan penguasaan ilmu harus disertai pengamala di kehidupan nyata dalam bentuk aksi. Sebagai contoh berdirinya beragam amal usaha Muhammadiyah merupakan wujud pengejawantahan dari beragam ilmu yang telah dipahami dan dikuasai.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pencapaian tujuan pendidikan terealisasi ketika proses pendidikan bersifat integral. Dalam arti, peserta didik harus memiliki empat kecerdasan (intelektual, spritual, emosional dan social) secara paripurna. Dengan demikian, proses pendidikan akan mampu menghasilkan ”intelektual-ulama” yang berkualitas. Guna mewujudkan peserta didik yang demikian, menjadi sebuah keharusan pendidikan diimbangi dengan ilmu agama dan umum. Sejatinya ilmu umum merupakan salah satu sarana peserta didik mengenal kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik serta mencapai kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat, oleh karena konsep pendidikan dalam al-Qur‟an dan Hadis tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Dalam konsep kebebasan berpikir, KH. Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa penyebab utama kemunduran peradaban umat Islam adalah pola konservatif dalam berpikir atau kejumudan pemikiran yang dimiliki dan cara pandang terhadap masa yang akan datang (futuristic thinking) sehingga umat Islam tertinggal dengan umat yang lain. Itu sebabnya, kebebasan berpikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan manusia. Artinya, melalui pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya dengan syarat adanya kebebasan berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan.
Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, agar selamat di kehidupan dunia dan akherat, pendidikan tidak hanya mencerdaskan intelektualitas, tetapi pembentukan karakter teramat penting disematkan pada perilaku peserta didik di kehidupan sehari-harinya. Baginya, wujud keberhasilan pendidikan akan terpetakan pada perilaku peserta didik di kesehariannya. Maka dari itu, melalui pendidikan para peserta didik dapat memenuhi kepribadian yang utuh baik jasmani maupun rohani dan memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi serta bermoral yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Baginya, menekankan pembentukan karakter harus diawali dengan iman, ilmu dan amal. Karena dengan iman perbuatan yang kita lakukan dengan tujuan yang baik, percaya diri, ikhlas, maka Allah akan memberikan kemudahan pada perbuatannya.
Gambar 3 Konsep Pendidikan Menurut KH. Ahmad Dahlan
- Ki Hadjar Dewantara
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan (opvoeding) dengan pengajaran (onderwijs) sangatlah berbeda. Menurutnya pengajaran merupakan pendidikan dengan memberikan ilmu pengetahuan serta keterampilan yang mempengaruhi kecerdasan pada anak-anak, yang bermanfaat untuk hidup lahir batin anak-anak (Tauchid dkk.,1962). Sedangkan pendidikan menurut beliau adalah upaya kebudayaan yang berazaskan keadaban untuk memberikan dan memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak yang selaras dengan dunianya. Oleh sebab itu segala alat, usaha, dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan yang tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat (Dewantara, 1962). Dengan kata lain, menurut beliau bahwa tujuan pendidikan adalah memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dengan demikian, pendidik menuntun anak pada kehidupan yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.dimana mereka tinggal dan bersosialisasi.
Manifestasi tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara diwujudkan dalam azas-azas pendidikan yang dianut oleh Perguruan Taman Siswa yang merupakan organisasi yang beliau bentuk sebagai alat perjuangan. Rentang waktu tahun 1922 sampai 1947, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya memiliki azas yang disebut sebagai azas 1922. Penyebutan azas ini bertujuan untuk dapat membedakan antara azas 1922 dengan dasar-dasar yang diberlakukan pada tahun 1947 sebagai kristalisasi dari azas sebelumnya. Azas ini merupakan landasan perjuangan beliau bersama Taman Siswa yang diperlukan pada waktu itu dimana di dalamnya menjelaskan karakteristik perjuangan Taman Siswa pada umumnya.
Rentang waktu 1947 sampai dengan sekarang, menggunakan dasar-dasar 1947 yang bersumber dari panca darma yang merupakan kristalisasi dari azas 1922. Azas inilah yang menjadi pedoman gerak dan langkah perjuangan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa. Dalam dasar dasar 1947 mengandung petunjuk terkait corak dan system/paradigma pendidikan yang dicita-citakan oleh beliau. Dasar kemanusiaan, kebangsaan, dan kebudayaan berkaitan dengan menerima, memelihara, melanjutkan kebudayaan, dan memperluas pendidikan, serta memberi corak pendidikan nasional. Sementara dasar kodrat hidup dan dasar kemerdekaan menentukan sistem pendidikan yaitu pendidikan sistem among.
Pendidikan dalam konteks yang sesungguhnya, sebagaimana diyakini juga oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah menyangkut upaya memahami dan menganyomi kebutuhan peserta didik sebagai subyek pendidikan. Dalam konteks itu, tugas pendidik adalah mengembangkan potensi-potensi peserta didik, menawarkan pengetahuan kepada peserta didik dalam suatu dialog. Dalam prakteknya, beliau membagi hirarti pengembangan pengetahuan peserta didik dalam tiga tingkatan yaitu cipta, rasa, dan karsa atau penalaran, penghayatan, dan pengamalan. Semuanya itu dimaksudkan untuk memantik dan mengungkapkan gagasan-gagasan peserta didik tentang suatu topik tertentu sehingga yang terjadi adalah pengetahuan tidak ditanamkan secara paksa tetapi ditemukan, diolah dan dipilih oleh peserta didik. Dalam perspektif itulah beliau memaknai pendidikan sebagai aktivitas “mengasuh”.
- “Gakojamasi” Konsep Pendidikan dari Sudut Pandang Tokoh Pendidikan Indonesia
Sebagai sebuah negara besar yang dianugrahi dengan beragam kekayaan baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, Indonesia dilimpahi pula dengan kekayaan intelektual berupa hasil pemikiran para tokoh pendidikan lintas generasi, lintas budaya, lintas agama, serta lintas gender. Dari mulai jaman kerajaan Kutai Kertanegara, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Majapahit, kerajaan Pajajaran, kerajaan Demak, kerajaan Mataram, sampai dengan keberadaan kita menjadi sebuah negara besar ini, kita di ”anugerahi” khasanah pemikiran tentang pendidikan yang sangat luar biasa serta menjadi kekayaan yang tak ternilai.
Di era modern ini kita mengenal banyak tokoh pendidikan yang menyumbang pemikiran untuk kemajuan pendidikan di negara tercinta ini. Tercatat diantarnya KH. Hasyim Asy’ary, KH. Ahmad Dahlan, RA. Kartini, Rohana Kudus, Hj. Rangkayo Rasuna Said, dan lain sebagainya. Hasil pemikiran mereka memiliki satu kesamaan yakni “keinginan Indonesia maju” dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam konteks keikinian, apa yang menjadi pemikiran mereka dapat dijadikan rujukan dalam menyusun konsep dan paradigma pendidikan kita untuk sekarang dan masa yang akan datang. Kesempatan ini penulis mencoba mengajukan konsep “3Re” (reinvenraisasi, revitalisasi, dan rekonstruksi) melalui serangkaian langkah dinamai “Gakojamasi”, akronim dari Gali ulang (Galang), Koleksi ulang (Kolang), Pelajari ulang (Jalang), Maknai ulang (Malang), dan Integrasikan ulang (silang) dalam rangka mempertegas kembali paradigma pendidikan kita menyongsong abad milenial setelah mendeklarasikan pentingnya kesadaran memajukan pendidikan melalui peringatan 66 tahun terbitnya Keputusan Presiden RI nomor 316 tahun 1959 tentang “Hari Pendidikan Nasional” setiap 2 Mei.
- Gali Ulang (Galang)
Pada tahapan ini, penulis mencoba menggali ulang konsep-konsep atau buah pemikiran para tokoh pendidikan di Indonesia disertai latar belakang dan permasalahan yang dihadapi pada masanya.
Tabel 1 Tokoh Pendidikan dan Konsep Pendidikannya
- Koleksi Ulang (Kolang)
Guna memudahkan tahapan selanjutnya, pada tahapan koleksi ulang ini penulis mencoba menentukan kriteria pengelompokan berdasarkan keterwakilan gender, pandangan politik serta konteks modernisasi pendidikan pesantren (religius) yang hidup dan berkembang pada masanya. Dari ketiga kriteria tersebut munculah pengelompokan pemikiran/konsep pendidikan Indonesia dari kaca mata kaum perempuan yang diwakili oleh RA. Kartini, Rd. Dewi Sartika, Hj. Rangkayo Rasuna Said dan Rosana Kudus. Sedangkan dari kelompok Nasionalis diwakili oleh pandangan Ki Hadjar Dewantara. Sedangkan untuk kelompok modernisasi pendidikan Islam diwakili oleh KH. Hayim Asy’Ary dan KH. Ahmad Dahlan.
- Pelajari Ulang (Jalang)
Dari ketiga kelompok pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh para tokoh, penulis mencoba mereduksi pemikiran mereka tersebut didasari pada realita di lapangan dimana konsep atau pemikirannya tersebut terwujud nyata di masyarakat dari dulu sampai sekarang, selain juga ketersedian sumber data yang penulis miliki. Berangkat dari hal tersebut, penulis memilih konsep atau pemikiran dari kelompok-kelompok tokoh meliputi tokoh wanita diwakili oleh konsep dan pemikirannya Rd. Dewi Sartika dengan sekolah Kautamaan Istrinya; tokoh nasionalis oleh Ki Hadjar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswanya; dan tokoh pendidikan Islam oleh KH. Ahmad Dahlan melalui Organisasi Muhammadiyahnya.
- Maknai ulang (Malang)
Pada tahap ini, penulis mencoba memaknai ulang terhadap konsep dan pemikiran tentang pendidikan yang dikemukakan oleh perwakilan tokoh pendidikan terpilih pada tahap sebelumya yaitu Rd. Dewi Sartika, Ki Hadjar Dewantara, dan KH. Ahmad Dahlan.
Rd. Dewi Sartika dengan sekolah Kautamaan Istri yang menyebar di beberapa wilayah di Jawa Barat sekaligus juga menginspirasi lahirnya sekolah-sekolah Putri serupa diberbagai wilayah Indonesia seperti yang dipelopori HR Rasuna Said dan Rohana Kudus, berupaya mensejajarkan kaum perempuan dengan laki-laki dari kesempatan mendapatkan pendidikan yang dapat membebaskan mereka dari keterbelakangan dan “penindasan” kaum laki-laki pada saat itu. Bagi beliau pendidikan bertujuan menjadikan peserta didik yang cageur, bageur, pinter, bener dan singer untuk semua kalangan dan jenis kelamin.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, konsep pendidikan melalui perguruan Taman Siswanya adalah menyangkut upaya memahami dan menganyomi kebutuhan peserta didik sebagai subyek pendidikan. Dalam konteks itu, tugas pendidik adalah mengembangkan potensi-potensi peserta didik, menawarkan pengetahuan kepada peserta didik dalam suatu dialog. Melalui Asas panca gatranya (kebangsaan, kebudayaan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan kodrat alam) itulah beliau memaknai pendidikan sebagai aktivitas “mengasuh”.
- Ahmad Dahlan dengan oranisasi Muhammadiyahnya mencoba melakukan pembaharuan pendidikan (Khususnya pendidikan Islam pada saat itu) melalui pengintegrasian beragam kecerdasan, baik kecerdasan intelektual (IQ), spiritual (SQ), emosional (EQ), dan social (ScQ) dalam sebuah rangkaian proses yang tak terpisahkan satu sama lainnya. Peserta didik yang baik adalah yang mempunyai kemampuan memamdukan keempat kecerdasan tadi dalam kehidupan sehari-harinya. Implementasi konsep tersebut diwujudkan dalam empat pilar yaitu integrasi ilmu dengan amal, integrasi ilmu umum dengan ilmu agama, kebebasan berpikir, dan pendidikan karakter.
- Integrasikan Ulang (Silang)
Dalam mengintegrasikan ulang (Silang) konsep, pemikiran, tujuan pendidikan atau paradigma pendidikan dari tokoh-tokoh yang dikupas pada tahapan sebelumnya diperlukan sebuah kerangka hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan. Istilah ini kemudian digunakan Benjamin Samuel Bloom, psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan terkait kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual [intellectual behaviors] yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Domain Kognitif terdiri dari perilaku yang focus menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, dan keterampilan berpikir. Sedangkan domain afektif lebih menekankan pada perilaku terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat, motivasi, dan sikap. Sementara domain Psikomotorik lebih memfokuskan pada perilaku yang menekankan fungsi manipulatif dan keterampilan motorik atau kemampuan fisik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Guna memudahkan mengingat biasanya mengkaitkan ketiga ranah ini dengan Knowledge, Skill and Attitude (KSA). Kognitif menekankan pada Knowledge, Afektif pada Attitude, dan Psikomotorik pada Skill.
Proses integrasi ulang ketiga konsep/tujuan ataupun paradigma pendidikan ketiga tokoh pendidikan ke dalam taksonomi Bloom dapat kita lihat pada table di bawah ini.
Tabel 2 Konsep Pendidikan para Tokoh dalam Taksonomi Bloom
- “Gakojamasi” Pemikiran Tokoh Pendidikan dalam Mempertegas Paradigma Pendidikan Indonesia
Indonesia sebagai salah satu anggota UNESCO meratifikasi Paradigma pendidikan pernah dibahas oleh lembaga tersebut dalam World Education Forum guna mempersiapkan pendidikan manusia abad ke-21. Salah atu poin penting dalam pertemuan itu, pendidikan hendaknya mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Melalui perubahan ini menjadikan pendidikan adalah “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan peserta didik”. Guru sebagai pendidik dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah sejatinya menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini terjadi perubahan peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tapi learner (yang belajar).
Paradigma pendidikan Indonesia sama halnya dengan paradigma pendidikan UNESCO terlihat jelas didasari pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching. Keempat paradigma pendidikan UNESCO (learning to think, learning to do, learning to live together dan learning to be) disebut sebagai “role models” bagi kita yang hidup di abad ke 21 atau disebut juga abad milenial ini dalam menghadapi perubahan arus informasi dan kehidupan yang tanpa batas serta sulit kita prediksi ini. Semua itu yang terpenting tidak melupakan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang besar lengkap dengan anugerah sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah.
Paradigma pertama, learning to think (belajar berpikir). Hendaknya diartikan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga memunculkan learner yang berani menyatakan pendapat, bersikap kritis serta memiliki semangat literasi tinggi yang dalam persfektif Rd. Dewi Sartika adalah peserta didik yang Cageur, pinter, dan bener. Proses belajar yang terus menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir. Dengan sendirinya belajar yang hanya “meng-copas” tidak mempunyai tempat lagi di dalam era milenial yang dalam persfektif KH. Ahmad Dahlan sebagai kebebasan berpikir. Sehubungan dengan itu maka penguasaan media digital (metavers) menjadi keharusan dikuasai oleh peserta didik kita karena dengan demikian mereka dapat memasuki dunia tanpa batas. Sejatinya konsep belajar dan pembelajaran harus diubah serta membuka pintu seluas-luasnya kepada teknologi pembelajaran modern untuk masuk dan mewarnai dunia pendidikan kita sekalipun tetap dibutuhkan pendidikan tatap muka yang melibatkan keberadaan dan peran orang tua, guru, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di dalam rangka pembentukan akhlak manusia abad ke 21 yang dalam pesrfektif Ki Hadjar Dewantara manusia yang memiliki cipta, rasa dan karsa.
Paradigma kedua, learning to do (belajar berbuat/hidup). Memasuki abad ke-21 menuntut kita beraktivitas bukan hanya berpikir tetapi juga sekaligus berbuat. Manusia yang berbuat adalah manusia yang senantiasa ingin memperbaiki kualitas kehidupannya, yang dalam persfektif KH. Ahmad Dahlan adalah manusia yang mampu mengitegrasikan antara ilmu dengan amal atau dalam persfektif RD. Dewi Sartika sebagai manusia yang singer. Melalui aktivitas berbuat (dalam persfektif Ki Hadjar Dewantara sebagai karsa) mereka dapat menciptakan hal-hal baru serta meningkatkan kualitas sesuatu kebaharuan tersebut. Tanpa diikuti langkah berbuat, pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti. Nilai yang ingin dicapai dalam paradigma kedua ini adalah keterampilan seseorang peserta didik menyelesaikan permasalah yang muncul dalam keseharian. Pada intinya pendidikan diarahkan pada how to solve the problem.
Paradigma ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Paradima pendidikan yang ketiga ini tujukan pada pembentukan sosok peserta didik yang memiliki kesadaran bahwa mereka hidup dalam sebuah dunia yang global dilandasi beragam bahasa dengan latar belakang budaya, agama dan pandangan politik. Pada tataran inilah pendidikan akan nilai-nilai perdamaian abadi, penghormatan hak azasi manusia (HAM), pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama dalam proses internalisasi kesadaran learner (dalam persfektif RD. Dewi Sartika sebagai bageur dan bener. Sedangkan dalam persfektif Ki hadjar Dewantara sebagai kebangsaan, kemanusiaan, dan kemerdekaan. Dan dalam persfektif KH. Ahmad Dahlam sebagai integrase ilmu dan amal).
Paradigma keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Dalam konteks kekinian, paradigma pendidikan ini menjadi begitu penting mengingat kondisi masyarakat moderns pada umunya saat ini tengah dilanda krisis keteladanan. Mayoritas manusia sekarang lebih melihat diri sebagai “apa yang kau punya, apa yang kau pakai, apa yang kau makan, apa yang kau kendarai”, dan lain sebagainya yang bersifat kebendaan dan hedonisme. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diarahkan pada pembentukan figur peserta didik di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having atau mental materialistis yang dalam persfektif Rd. Dewi Sartika sebagai manusia masagi, dalam persfektif Ki Hadjar Dewantara manusia paripurna dengan cipta, rasa dan karsanya. Sedangkan dalam persfektif KH. Ahmad Dahlan sebagai manusia integral memiliki IQ, SQ, EQ, dan ScQ yang mumpuni.
Sebagai seorang yang turut berkecimpung dalam dunia pendidikan, penulis sudah seharusnya berkontribusi sekalipun teramat kecil “laksana butiran debu” kepada dunia pendidikan melalui tulisan ini. Bagi penulis, paradigma pendidikan kita perlu dipertegas ulang melalui reinventarisir, revitalisasi dan rekontruksi dari potongan-potongan pemikiran para tokoh pendidikan yang telah berkontribusi besar terhadap kemajuan dunia pendidikan kita. Potongan-potongan pemikiran tersebut menjadi “puzzle” pelengkap dari paradigma pendidikan Indonesia dalam menyongsong era milenial. Dalam kaca mata penulis, potongan pemikiran tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari empat paradigma di atas dan apabila ditarik benang merahnya akan diperoleh kata kunci berupa “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar).
Pada akhirnya, kita berharap pendidikan tidak hanya berorientasi pada deretan nilai akademik dalam transkrip nilai yang bersifat pemenuhan aspek kognitif semata, melainkan pula berorientasi pada pemenuhan sosok peserta didik yang mampu belajar dari lingkungan, dari pengalaman kegagalan dan kehebatan orang lain, dari kekayaan dan luasnya hamparan alam semesta, sehingga mereka bisa mengembangkan sikap sesuai dengan empat kompetensi yang harus dimiliki peserta didik di abad-21 yang disebut 4C, yaitu Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), Creativity (kreativitas), Communication Skills (kemampuan berkomunikasi), dan Ability to Work Collaboratively (kemampuan untuk bekerja secara kolaboratif).
- Daftar Rujukan
Daryono, Yon. 1998. R. Dewi Sartika. Jakarta: CV. Pialang Permai
Daulay, Haidar Putra. 2007. Sejarah Pertumbuhan , Pembaharuan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Pernada Media Grup.
Dewantara, Ki Hadjar. 1956. Azas-azas dan dasar-dasar Taman Siswa. Taman Siswa 30 Tahun. Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hadjar. 1956. Pangkal-Pangkal Roch Taman Siswa.Taman Siswa 30 Tahun. Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hadjar. 1957. Masalah Kebudajaan. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Efendy, R. 2018. Rekonstruksi Makna Belajar dalam Upaya Merespon Perubahan Paradigma Pembelajaran Era Milenial. Jurnal Studi Pendidikan, 16 (1). Dari
https://media.neliti.com/media/publications/285640-rekonstruksi-makna-belajar-dalam- upaya-m-ede34fb9.pdf.
Hasnah. 2015. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Publikasi, 2 (2). Dari https://ojs.unm.ac.id/pubpend/article/view/1414/579.
Kuhn, Thomas S,2012, The Structure of Scientific Revolution, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Maria Ulfah Subadio dan TO Ihrami. 1994. Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Rusmana. 2021. Gakojamasi, Pembelajaran Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Jawa Barat di SMA. Lumajang:Allama.
Suparjo. 2014. Dinamika Perubahan Paradigma Pendidikan: Studi Tentang Kesiapan Guru Pendidikan Agama Islam di SD/MI di Wilayah Kabupaten Banyumas dalam Menerapkan Pendekatan Pembelajaran Saintifik dan Penilaian Otentik Kurikulum 2013. JPA, 15 (2). Dari http://www.ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/jpa/article/view/3118
Tauchid, Moch. 1967. Tugas Taman Siswa dalam Pembangunan Masyarakat Baru. Pusara 67, Djilid XXVIII, No. 7-8
(Red)
Tulisan yang bisa membuka mata kita sebagai guru, bahwa ternyata Indonesia ini kaya dengan kaum intelektual yang bahkan memiliki Pemikiran tentang Pendidikan yg luar biasa. Tinggal kitanya mau menggali ulang dan mempelajari ulang bagaimana Paradigma Pendidikan Indonesia yg luhur dan masih orisinil😍
Masyaallah sangat bermanfaat 🥰👍👍 artikelnya luar biasa
Artikel nyaa sangat membantu, bahasan nya sangat luar biasa mudah di pahami dan dapat menambah wawasan mengenai apa yang telah di jabarkan
terus berkarya…
Artikel nyaa sangat membantu, bahasan nya sangat luar biasa mudah di pahami dan dapat menambah wawasan untuk memperdalam ilmu yng sangat bermanfaat ,dan sekarang tinggal kita untuk melakukan dan menggali ulang materi nya yng di terapkan dalam masing² pahlawan kita
Eum bapakk…. G tau mau ngomentar apa soalnya udah bagus banget hhe semangat bapakkj
tulisan yang sangat luar biasa sekali,setelah membaca ini allhamdulilah menambah wawasan dan juga pola pikir saya terbuka , dan mungkin sudah aga paham mengapa ada terjadinya perubahan kurikulum pendidikan setelah membaca artikel inii.,semanagat terus untuk berkarya pak!! dan semoga bapa sehat sealalu aammiinn