Adapun faktor yang menyebabkan anak-anak mudah dipengaruhi oleh jaringan teroris, termasuk NII, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang yang beragam, sehingga ada kecenderungan mengarah pada penyeragaman, pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan;
Kedua, Ada kecenderungan para peserta didik dan pendidik terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Namun, pada era digital ini dapat terlihat dari postingan di media sosial mereka;
Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh pendidik yang membawa ideologi dan pandangan politik pribadinya ke dalam kelas. Misalnya kasus pemilihan Ketua OSIS di salah satu SMAN di kota Depok yang diulang karena ketua OSIS terpilih beragama minoritas. Selain itu, ada pendidik berinisial TS yang mengajak para siswa di grup WhatsApp mengajak siswanya memilih ketua OSIS yang seagama. Bahkan ada kepala sekolah jenjang SD di Lampung yang ditangkap Densus 88 pada November 2021 karena diduga terlibat dalam aksi terorisme Jaringan Jamaah Islamiah (JI).
Keempat, masuknya bibit radikalisme ke sejumalah sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan. Terutama yang melibatkan pemberi materi dari luar sekolah, seperti penceramahan dalam sholat Jum’at di masjid sekolah dan pendampingan kajian agama rutin setiap minggunya. Hal ini umumnya terhubung dengan para alumni sehingga pihak sekolah percaya, apalagi tidak ada biaya untuk membayar mereka. “Seharusnya para alumni dan pemateri yang diambil dari luar sekolah harus melalui screening oleh Pembina atau guru agama dan kepala sekolah”, ujar Retno.