Perhatikan bahwa Kurikulum 2013 sebenarnya belum sepenuhnya diterapkan. Juga terlalu pendek waktu pelaksanaan untuk membuat kita bisa menilai baik buruknya. Boleh jadi pelaksanaannya, perumusan bahan ajarnya, belum sepenuhnya sesuai dengan amanat kurikulum itu sendiri.
Kita bisa membayangkan pengulangan cerita pada kurikulum 2022 ini. Kurikulum baru dicanangkan saat masa jabatan menteri tersisa kurang dari 3 tahun. Dalam masa itu berbagai persiapan dibuat. Boleh jadi di akhir masa jabatan menteri yang sekarang, kurikulum ini masih dalam tahap uji coba. Pelaksana kurikulum ini kelak adalah menteri lain lagi, yang belum tentu cocok selera dengan gagasan menteri yang sekarang. Kelak dalam waktu yang tak terlalu lama, kurikulum akan diganti kembali. Maka berlakulah ungkapan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Kita perlu penjelasan yang lebih detail soal kenapa kurikulum lama diganti. Penjelasan yang tidak sekadar berbasis pada selera, namun data. Atas dasar riset apakah sehingga disimpulkan bahwa kurikulum lama harus diganti? Ini soal penting. Anak-anak kita bukan subjek eksperimen untuk menguji gagasan menteri. Selain itu, penggantian kurikulum membutuhkan dana yang tidak sedikit. Keputusan untuk mengganti kurikulum adalah keputusan yang sangat besar. Pengambilan keputusan tanpa rujukan yang jelas adalah kecerobohan.
Baca Juga :
- Nadiem Ingatkan Pemda Soal Gaji PPPK 2021
- Penjurusan di SMA Ditiadakan Pada Kurikulum Baru 2022
- “3 Dosa Besar” Dunia Pendidikan
- Peristiwa Haru dan Bangga Mas Menteri Bertemu Guru Ketika Di SD
Penggantian kurikulum sepatutnya dilakukan melalui kajian yang sangat mendalam. Seharusnya pula, soal ini tidak boleh diputuskan begitu saja oleh seorang menteri. Harus ada peraturan yang benar-benar mengetatkan prosedur penggantian kurikulum ini. Syarat-syaratnya harus jelas dan tegas, dan yang terpenting, berbasis pada kajian ilmiah yang valid. Dengan begitu kita bisa menghindari gonta-ganti kurikulum secara tidak efektif itu.
Kurikulum pendidikan terlalu penting, sehingga tak patut ditentukan hanya berbasis pada preferensi ideologi suatu rezim pemerintahan. Tentu saja sangat tidak patut bila hanya didasarkan pada selera atau gagasan menteri saja. Kritik ini bukan ditujukan pada Nadiem Makarim, menteri yang saat ini menjabat. Kritik ini merupakan kritik terhadap ketiadaan mekanisme yang lebih fundamental.
Yang terjadi saat ini adalah yang demikian itu. Presiden baru punya gagasan, maka kurikulum diganti. Menteri punya gagasan, ganti kurikulum. Saat ini kurikulum dipandang sebagai sesuatu yang ideal. Tapi nanti akan dianggap tidak tepat pagi oleh rezim berikutnya. Begitu terus. Siklus ini harus diakhiri.
(Red/detiknews.com)