SAMBASNEWS.id – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berencana mengevaluasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi. KemendikbudRistek kemudian membentuk Satgas Khusus Pantau dan Evaluasi PPDB. Sebenarnya ada apa dengan PPDB Sistem zonasi, apakah perlu dipertahankan atau diganti. Akar masalah sebenarnya bukan karena ada kecurangan atau tidak, namun apakah pemerintah daerah sudah membangun sekolah negeri baru di Kelurahan atau Kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, terutama SMAN dan SMKN yang jumlahnya minim hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
“Kalau PPDB sistem zonasi akan diganti, apakah menjamin mayoritas anak Indonesia usia sekolah akan tertampung di sekolah negeri, mengingat jumlah sekolah negeri memang terbatas. Tak ada penambahan SMAN dan SMKN bahkan SMPN selama puluhan tahun. Kesadaran bahwa sekolah negeri minim justru ketika Kemendikbud menerapkan PPDB Sistem zonasi pada 2017 lalu”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan pakar FSGI.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pantauan PPDB Sistem Zonasi sejak kebijakan PPDB Sistem Zonasi diterapkan oleh KemendikbudRistek pada tahun 2017, saat itu Muhajir Effendi yang menjabat sebagai Mendikbud RI. FSGI sejak awal sudah berposisi mendukung Kemendikbud RI atas kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), karena menurut FSGI kebijakan ini lebih menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemenuhan hak atas Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Republik Indonesia.
Penjelasan Mendikbud Muhajir saat akan menerapkan kebijakan PPDB Sistem Zonasi adalah didasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Kemendikbud selama delapan (8) tahun, yang datanya menunjukkan bahwa sekolah negeri justru di dominasi oleh peserta didik dari keluarga kaya atau mampu secara ekonomi, padahal anak-anak keluarga kaya memiliki banyak pilihan untuk bersekolah, beda dengan anak-anak dari keluarga miskin yang akan sulit melanjutkan sekolah jika tidak di SMA atau SMKN karena ketiadaan biaya.
Baca berita di halaman selanjutnya…