Hal ini kemudian melahirkan sekolah unggulan, karena semua anak yang bersekolah di tempat tersebut memang anak-anak dengan nilai akademik tinggi bahkan super. Sekolah ini kemudian sarat dengan prestasi akademik maupun non akamdemik, baik di level daerah, nasional bahkan internasional. Mayoritas bantuan daerah maupun nasional tertumpah ke sekolah unggulan ini, anak kaya makin berprestasi karena dapat dukungan dari APBN maupun APBD. Hal yang sama tidak dinikmati oleh Sekolah negeri bukan unggulan, yang peserta didiknya juga bukan anak unggulan, ada ketidakadilan.
“Sistem PPDB tersebut selama 50 tahun memang nyaris tak ada gejolak, karena sistem tersebut diserahkan pada meknisme pasar, negara minim sekali kehadirannya,padahal hak atas pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi RI. Selain itu, sistem PPDB sebelumnya menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi, kondisinya lebih beruntung dan memiliki banyak pilihan ”, ungkap Retno.
Retno menambahkan, “bahwa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri umumnya anak-anak keluarga tidak mampu yang tidak tahu harus bersuara kemana, dan akhirnya pasrah menerima keadaan karena nilai akademik anak-anak mereka umumnya memang kalah dari anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Sistem PPDB zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapapun, baik pintar atau tidak, kayak atau tidak, dan seterusnya”.
Baca berita di halaman selanjutnya…