JAKARTA, SAMBASNEWS.id – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis catatan kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang Januari-April 2023, tercatat ada 15 kasus kekerasan seksual yang terjadi disatuan pendidikan, baik di sekolah (KemendikbudRistek) maupun di pondok pesantren (Kementerian Agama). Namun, ada 1 kasus dimana seorang siswi SMPN di Banyumas di perkosa oleh 8 orang tetangganya hingga hamil, namun anak korban dipaksa mengundurkan diri alias di keluarkan dari sekolah.
Kasus siswi hamil dikeluarkan dari sekolah seperti terjadi di Banyumas bukan satu-satunya kasus, pada awal 2023, seorang siswi kelas enam SD di Binjai, Sumatera Utara diusir oleh warga dan putus sekolah setelah diketahui hamil akibat diperkosa. Pada 2021, dua santriwati korban pemerkosaan guru pesantren di Garut dikeluarkan dari sekolah setelah ketahuan memiliki bayi.
Ancaman putus sekolah juga mengintai remaja perempuan yang hamil akibat hubungan konsensual di luar pernikahan. Persoalan ini juga erat kaitannya dengan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia. Di Bangka Belitung misalnya, sebanyak 451 siswa SMA putus sekolah pada 2019-2021 karena mengalami kehamilan tidak diinginkan atau pernikahan dini. Kemudian pada Januari 2023, ratusan remaja di Ponorogo mengajukan dispensasi pernikahan dini dengan alasan telah hamil.
“Pada momentum peringatan Hardiknas Tahun 2023 ini, FSGI mendesak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak mengabaikan pemenuhan hak atas pendidikan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan anak-anak yang berhadapan/berkonflik dengan hukum”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
FSGI : Kekerasan Seksual Di Satuan Pendidikan 46,67% Terjadi di Jenjang SD/MI
FSGI menemukan bahwa sebanyak 46,67% kasus kekerasan seksual sepanjang Januari-April 2023 terjadi dijenjang SD/MI, 13,33% di jenjang SMP, 7,67% terjadi di SMK, dan 33,33% di Pondok Pesantren. Dari 15 kasus tersebut, 46,67% satuan pendidikan tersebut di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 53,33% dibawah kewenangan KemendikbudRistek.
”Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 15 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu Pimpinan dan Pengasuh Ponpes ada 33,33%; Guru/Ustad ada 40%; Kepala Sekolah sebanyak 20% dan penjaga sekolah hanya 6,67%. Sedangkan korban total 124 anak, baik laki-laki maupun perempuan,” urai Retno.
Kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus (10%) dan 90% kasus dilakukan secara luring oleh pelaku. “ Kekerasan seksual berbasis daring terjadi diawal tahun 2023 di Lampung. Pelaku menyasar anak-anak usia SD dengan jumlah korbannya 36 anak, dan 22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama, laki-laki maupun perempuan”, ungkap Heru Purnomo, Sekjen FSGI.
Heru menambahkan, ”Korban rata-rata berusia 12 tahun, dikenal pelaku melalui akun facebook. Modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup WhatsApp anak anak korban dan video call pribadi dengan meminta anak korban melepas pakaiannya. Diduga kuat anak-anak sudah terpapar konten pornografi yang kerap dibagikan oleh pelaku di grup whatsApp mereka”.
Adapun wilayah kejadian berada di 7 (tujuh) provinsi dan 10 kabupaten/kota dengan rincian kabupaten/kota sebagai berikut :
1. Provinsi Lampung : kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat;
2. Provinsi Jawa Tengah : Kabupaten Batang, Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas;
3. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta : Kabupaten Gunung Kidul
4. Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Jember, Kota Surabaya dan Kab. Trenggalek
5. Provinsi DKI Jakarta : Kota Jakarta Timur
6. Provinsi Bengkulu : Kab. Rejang lebong
7. Provinsi Sulawesi Selatan : Kota Pare Pare
Modus Kekerasan Seksual (KS)
Dari 15 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat ada 11 modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, yaitu sebagai berikut :
(1) Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes;
(2) valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 wib kemudian dicabuli;
(3) Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku;
(4) Lapor dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan;
(5) Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi;
(6) Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang;
(7) Pelaku bukan guru, ybs berkenalan dengan anak korban melalui medsos, lalu dimasukan korban ke grup WA teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama;
(8) korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu di ciumi dan diremas dadanya;
(9) menutup muka korban dengan handuk saat pembelajaran terkait materi indera perasa, pelaku kemudian cabuli korban;
(10) saat bertindak sebagai pembina dalam kegiatan Masa Bimbingan Fisik dan Mental (Madabintal ) peserta didik baru di bumi perkemahan, pelaku mencabuli 3 siswi yang merupakan kawan 1 kelompok di salah satu Pos jaga;
(11) Pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali maupun saksi nikah. Setelahnya, Pelaku melakukan kekerasan seksual kepada para santriwatinya dengan dalih sudah suami istri.
Dari 11 modus tersebut, terutama kasus KS yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama, FSGI menilai bahwa relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya melekat kuat di pesantren. Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.
“Sehingga, Pelaku biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur”, tegas Retno.
FSGI Desak Pemerintah Penuhi Hak Atas Pendidikan Peserta Didik Korban Perkosaan dan Anak Berkonflik Dengan Hukum
1. FSGI mendukung pendidikan anak korban perkosaan maupun anak berhadapan/berkonflik dengan hukum yang masih berstatus pelajar, pihak sekolah sejatinya dapat memberikan akses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai korban mengalami perundungan dari teman-teman di sekolahnya, hingga mengalami trauma untuk kedua kalinya. Hak anak yaitu pendidikan dalam hal ini juga harus diperhatikan dengan serius.
2. FSGI mendorong Mendorong penguatan kualitas pendidikan non-formal agar anak dan remaja yang kembali bersekolah melalui jalur pendidikan ini memperoleh layanan pendidikan berkualitas yang inkusif yang sesuai dengan minat dan potensi mereka. Hal ini didasarkan dari pengumpulan data FSGI yang menunjukkan bahwa Anak-anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan ketika didorong meraih kesempatan kedua untuk kembali belajar, lebih memilih jalur pendidikan non-formal atau PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), karena layanan pendidikan ini lebih sesuai dengan kondisi mereka. Ada beberapa PKBM, peserta didiknya bahkan membawa bayi saat belajar di PKBM.
3. FSGI mendorong Pemerintah daerah untuk proaktif meningkatkan intervensi untuk perlindungan anak perempuan usia 15-17 tahun, dengan fokus utama penyelesaian sekolah menengah, agar mereka bisa melanjutkan masa depannya dan bekerja secara layak. Perlu adanya penyederhanaan syarat masuk PKBM, agar anak-anak yang menjadi korban perkosaan, bullying atau malah anak berkonflik dengan hukum dapat melanjutkan pendidikannya di PKBM jika mereka mengingkan.
4. FSGI mendorong Pemerintah Pusat maupun daerah untuk memastikan bahwa, para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana, hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi. Kalau hukumannya hanya mutasi, maka diduga kuat guru pelaku tersebut berpotensi melakukan perbuatan yang sama di tempat yang baru dengan korban lain. Mendorong hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan bahwa Perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan;
5. FSGI mendorong KemendikbudRistek melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, termasuk mensosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami;
6. FSGI juga mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag, mengingat kasus KS nya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek;
7. FSGI mendorong Dinas-dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota/Provinsi untuk melakukan Kerjasama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A Kabupaten/Kota/Provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD);
8. FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemilihan psikologi anak korban KS umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup Panjang dan harus tuntas.
Jakarta, 2 Mei 2023
Retno Listyarti (Ketua Dewan pakar FSGI), 085894626212
Heru Purnomo (Sekjen FSGI), 08128765851
(Mang Sambas)