“Miris kasus ini terjadi justru ketika KemendikbudRistek sedang giat-giatnya menghapus 3 dosa besar dipendidikan sebagaiman ketentuan dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan pendidikan”, ujar Heru.

Rekomendasi

Terkait kasus ini, Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) menyampaikan rekomendasi sebagai berikut :

1. FSGI mendorong Inspektorat Kabupaten Lamongan untuk memeriksa guru pelaku dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan dalam menangani kasus ini, karena penyelesaiannya sama sekali tidak menggunakan hukum positif atau peraturan perundangan terkait perlindungan anak dan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan pendidikan, padalah tindakan si oknum guru jelas masuk kategori tindak kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik (membuat pitak) dan kekerasan psikis karena anak korban pasti merasa direndahkan, dipermalukan dan ketakutan. Kekerasan fisik, psikis dan perundungan diatur dengan tegas dalam Permendikbud 46/2023 tentang PPKSP.

2. FSGI mendorong KOMPOLNAS memeriksa pihak kepolisian Lamongan yang telah menangani kasus ini dengan restorative justice dalam UU Perlindungan Anak, padahal prinsip restoratif justice tidak bisa diterapkan ketika pelaku adalah orang dewasa dan korbannya adalah anak di bawah umur. Guru pelaku bukan usia anak, tapi korbanya semua usia anak. Restoratif Justice adalah ketentuan penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dimana posisi anak adalah pelaku dan korbannya bisa sesama anak dan atau orang dewasa. Kasus ini justru sebaliknya, pelaku orang dewasa dan 14 korban usia anak.

Baca berita di halaman selanjutnya..,

Baca Juga  Kiprah Forum Pelajar Hukum dan HAM Jawa Barat

By Sambasnews

Santun Dalam Bahasan, Lugas & Faktual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *