“Menurut kajian hukum saya terkait laporan polisi tersebut, cacat hukum. Pertama, di dalam laporan polisi tersebut Polres Garut bergerak atas laporan informasi. Dalam PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-VI/2008 DAN NOMOR 2/PUU-VII/2009 TENTANG PENGUJIAN PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, KUHAP dan UU, tidak dibenarkan delik aduan UU ITE, polisi bergerak berdasarkan laporan informasi. Mengapa? Karena seharusnya korban yang merasa dirugikanlah yang harus melaporkan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik, sedangkan dalam surat panggilan tersebut tidak dijelaskan siapa pelapornya?” Ungkap Eko Wijaya.
Selanjutnya Biro Hukum DPP AJMII tersebut menyatakan sangat menyayangkan adanya laporan tersebut yang menurutnya bertujuan untuk membungkam insan pers.
“Kedua, laporan ini hanya untuk membungkam insan pers, di dalam menjalankan profesinya pasti rekan-rekan media/wartawan mengedepankan kode etik jurnalistik, sehingga harusnya pihak pelapor memberikan hak jawabnya jika nama baik dan kehormatannya terserang oleh pemberitaan. Ketiga, konsekuensi hukum bagi pelapor apabila laporan tersebut tidak bisa dibuktikan, baik delik & unsurnya, maka pihak pelapor juga bisa dilaporkan balik oleh terlapor (SS) karena SS merasa dirugikan atas dugaan tindak pidana Pasal 242 KUHP laporan palsu dan pencemaran nama baik. Ketiga, laporan informasi tersebut tidak ada akibat hukum dan hanya sebatas klarifikasi, kecuali korban membuat LP tertulis pro justitia baru,” pungkas Eko dengan nada geram.
Baca berita dihalaman selanjutnya…