Bandung, Sambasnews.id – Ucapan selamat Hari Guru Nasional (HGN) selalu marak di setiap momen November. Guru adalah profesi paling mulia dan strategis di muka bumi. Mengapa? Karena guru melayani dan mengurus “makhluk” paling berharga dan strategis bagi masa depan bangsa, yakni anak didik.
Seperti yang disampaikan Praktisi Pendidikan Dr. Dudung Nurullah Koswara, Jum’at (12/11/2021). Bahwa ungkapan semua profesi sama saja, penting dan strategis, bagi Saya tidak demikian. Guru adalah profesi paling penting dibanding profesi lain. Bukankah semua profesi lainnya 99,99 persen melintasi pengalaman diajar dan dididik oleh guru? Guru adalah profesi yang memberi dasar pengetahuan, keterampilan dan mental bagi semua profesi.
Di Hari Guru Nasional selain apresiasi atas keberadaan guru yang lebih penting dari semua profesi yang ada, Saya akan berikan kritik. Kritik pedas bagi entias guru di seluruh Indonesia. Tentu diujung kritik ini pun Saya akan kritik panas bagi pemerintah. Kritik adalah pemantik agar ada perhatian dari semua pihak terkait.
Kritik pertama, benarkah para guru yang saat ini bekerja sejak awal ingin menjadi guru? Panggilan hati dan “sehidup semati” menjadi seorang guru? Banggakah menjadi guru dan akan terus menjadi guru apa pun yang terjadi? Menjadi guru karena “dadakan” tuntutan mencari kerja tentu akan berbeda dengan cita-cita dan sejak lama bermimpi menjadi guru.
Kritik kedua, apakah yang sudah diberikan pada anak didik, sekolahan, masyarakat setelah menjadi guru. Apakah di rumah kita ada produk/karya yang kita buat? Apakah kita punya piala/piagam/sertifikat dan berbagai jenis benda dan dokumen yang menjelaskan kita adalah guru yang punya prestasi? Apakah di sekolah tempat bekerja ada produk dan karya kita sebagai guru?
Kritik ketiga, apakah para guru sampai saat ini sudah mampu mengurus organisasinya sendiri? misal di PGRI. Apakah ada guru aktif, guru murni yang bisa menjadi Ketua PGRI tingkat kota/kabupaten/provinsi dan pusat? Kalau belum, sungguh ini kritik pedas bagi guru. Organisasi profesinya saja tidak diurus oleh guru malah diurus non guru.
Kritik keempat, apakah kita guru yang dirindukan anak didik, sebagai subjek layanan? Apakah ada anak didik yang menyambut kita di sekolah? Apakah ada anak didik yang berkunjung ke rumah kita karena mereka rindu? Apakah HP guru selalu ada pada saat ada anak didik yang curhat dan minta bimbingan? Apakah kita semangat bertemu dengan anak didik, dimana pun?
Kritik kelima, apakah kita guru _terutama ASN_ punya kemampuan mengelola finansial dengan baik. Apakah kita punya pola hemat, tertib, terukur dalam memenuhi kebutuhan keluarga? Apakah kita cerdas memenuhi kebutuhan finansial keluarga? Apakah kita malah guru yang mengumbar keinginan? Keinginan dan kebutuhan dua hal berbeda.
Kritik keenam, apakah kita sudah menjadi teladan bagi anak didik kita. Mulai dari hal sederhana. Datang ke sekolah, ke ruang kelas sebelum anak didik datang dan masuk. Apakah kita adalah bagian dari “Guru Sangkuriang” yang selalu terlambat datang, namun pulang lebih cepat? Apakah kita adalah guru yang cuek pada anak didik dan dicuekin anak didik?
Kritik ketujuh, apakah kita setiap hari belajar, membaca dan mempersiapakan apa yang akan diberikan pada anak didik? Apakah setiap masuk ruang kelas dan hadir di sekolah, kita selalu dikerubuti anak didik atau malah dihindari anak didik? Apakah setiap pagi kita semangat berangkat kerja untuk bertemu anak didik?
Kritik kedelapan, apakah kita pernah mendidik dan mengajari anak sehingga Sang Anak menjadi juara dalam sebuah lomba? Anak didik menjadi anak yang berakhlak mulia dan semangat karena bimbingan kita? Apakah kita pernah mendapatkan hadiah dari anak didik sebagai tanda terimaksih atas didikan dan bimbingan kita?
Kritik kesembilan, apakah menjadi guru merasa menjadi bagian dari kelas sosial biasa atau malah merasa rendah? Apakah menjadi guru kurang percaya diri dan tak mampu tampil dominan di setiap momen sosial? Apakah menjadi guru selalu mempersilahkan orang lain tampil memimpin bukan kita yang memimpin sebagai guru?
Semua kritik di atas adalah autokritik bagi profesi guru. Termasuk bagi pemerintah sendiri sejatinya memperhatikan martabat guru apa pun kondisi entitas guru saat ini. Pemerintah bertanggung jawab 100 persen atas kesejahteraan guru. Terutama guru honorer yang berniat mulia mengabdi menjadi guru. Sejahterakan, muliakan martabat guru, mulai dari intervensi pemerintah pada sisi kesejahteraan. Terutama guru honorer!
Dari sejumlah kritik di atas, substansinya mengajak entitas guru agar benar-benar menjadi guru yang wow of the wow. Hidup adalah tabur tuai. Siapa berniat baik, mulia dan total akan mengabdi sebagai guru. Tidak ada ragu dan bahkan tidak ada hitungan untung rugi, maka “alam” dan tentu Tuhan yang maha Esa akan memberinya jalan terbaik.
Tidak ada niat baik, kerja baik dan ibadah terbaik yang percuma. Semuanya akan berujung baik. Allah SWT punya maksud atas kelahiran kita. Kita pun harus punya “maksud” atas keputusan kita menjadi guru. Bukan hanya mencari pekerjaan melainkan menjadi pribadi guru yang terbaik. Bila perlu ternarcis, tereksis, terhumanis, terproduktif dan dirindukan anak didik serta rekan sejawat.
Selamat Hari Guru Nasional! Selamat mengisi hari hari guru dengan terus belajar, terus berkarya, terus melayani anak didik dari hati suci dan terus menaikan prestas diri. Guru adalah profesi termulia dan terbaik di muka bumi. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa dirinya diutus ke muka bumi sebagai guru. Para guru adalah Nabi-Nabi Kecil. Semangat menerima kritik dan terus berkhidmat!, pungkas Dudung.
(Dadan Sambas)