Kini, dengan internet sebagai insan perguruan tinggi dan bangsa, Indonesia mengalami “air bah” informasi dengan nilai bawaannya dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai set of philosopy dan local wisdom. Pancasila harus head-to-head dengan global wisdom dan ideologi sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme dengan underlying systemnya.
Pertanyaan penting, mampukah PT menghadapi kondisi itu. Sejauh mana “ketangguhan” PT menjawab tantangan yang ditawarkan oleh ‘seperangkat nilai asing’ berupa sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme, kehidupan sekularistik-individualistik, sosial dan politik pragmatik-oligarkis. Apa tawaran PT menghadapi persoalan ‘nilai dan sistem asing’ yang menerobos masuk dan mewarnai nilai-nilai bangsa ini, yang secara radikal bersebrangan dengan nilai sosio-religius yang digambarkan dalam butir-butir Pancasila, apalagi agama.
Nilai “asing” itu itu berupa freedom of religion melahirkan pluralisme, sinkritisme agama, freedom of speech/expression melahirkan kebebasan (pers) dan berujung maraknya buzzer, influencer, framing berita berdasarkan pesanan dan kepentingan, hoaxes, dan fake news; freedom of ownership mempraktikkan kapitalisme dalam ekonomi-perdagangan, dan personal freedom maraknya amoralitas (LGBT). Sesuatu yang “mencemaskan” dan menggerus nilai-nilai fundamental bangsa ini.
Perguruan tinggi wajib menjawab tantangan itu dan menyodorkan solusi kepada para pemimpin dengan “asupan bergizi”. Para pemimpin dituntun membuat regulasi yang prorakyat dan tidak menyengsarakan rakyat. Kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan “tidak disusupi” oleh kepentingan asing yang mencelakakan masyarakat dan bangsa untuk masa depan. PT menjadi whistle blower untuk mengingatkan adanya bahaya.