Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar peserta didik segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat peserta didik. Dengan harapan peserta didik segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga peserta didik bingung menanggapinya. Dan wasiat keempat, bukanlah wasiat dari tokoh besar sekaliber Ki Hajar Dewantara, namun sebuah wasiat pribadi dari penulis. Bahwasanya, hukuman dengan melihat kondisi zaman sekarang ini, kini sudah berbeda. Ada fakta yang menarik perhatian penulis. Kalau zaman dahulu ketika dihukum guru, lalu melaporkan ke orang tua justru kita yang akan tambah di hukum oleh orang tua.
Perlunya Perlindungan Profesi
Gejala kriminalisasi dalam konteks ini bisa dijelaskan dengan beberapa argumen:
Pertama, menguatnya civil society. Pasca reformasi, ada semacam pembukaan kran terhadap akses hukum. Mudahnya, setiap orang saat ini bisa dengan mudah “memperkarakan” siapapun di ruang hukum. Bahkan untuk kasus remeh-temeh, seperti mencuri piring, coklat tiga bijih, sebatang kayu semuanya bisa terjerat hukum. Termasuk dalam hal ini, orang tua juga dengan mudah melaporkan guru ke meja hijau, apalagi dengan dalih Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA).