Oleh: Rusmana, M.Pd / Guru SMA Negeri 1 Pangalengan Kab. Bandung
Prawacana
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu peristiwa “kriminalisasi” profesi guru. Pemberian ”hukuman” guru terhadap peserta didiknya berujung pada tindakan hukum bahkan berakhir dengan dipenjaranya guru tersebut. Ironis memang, disatu sisi guru berupaya menjalankan perannya sebagai pendidik, di sisi lain apa yang dilakukan oleh peserta didiknya beberapa tahun yang lalu, kita disuguhi berita tentang Samhudi (seorang guru di Sidoarjo) dilaporkan orang tua Peserta didik yang dihukum karena tidak mengikuti ibadah Shalat Dhuha.
Hukuman yang diterima Peserta didik tersebut di antaranya dicubit tangan. Namun orang tua Peserta didik yang tidak terima dengan perlakuan tersebut membawa masalah tersebut ke ranah hukum (http://regional.kompas.com/read/2016/07/14/19152391), tahun berikutnya kembali dunia pendidikan digegerkan dengan berita seorang guru agama di SMAN 3 Pare-pare dilaporkan ke Polisi karena menghukum anak didiknya yang mangkir ketika disuruh shalat (http://makassar.tribunnews.com/2017/07/29).
Belum hilang rasa kesal kita pada perlakuan kurang baik yang dialami para guru, muncul sebagai berita yang menyesakkan dada, kematian seorang guru honorer di SMAN 1 Trojun Sampang Madura (Ahmad Budi Cahyono, alm) akibat dianiaya oleh Peserta didik nya sendiri (http://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/16410491).
Dunia pendidikan kembali tercoreng akibat peristiwa tersebut. Beragam pendapat maupun tanggapan akan peristiwa itu memunculkan polemik di masyarakat. Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?. Dimana pendidikan karakter atau budi pekerti yang selama ini didengung-dengungkan? Atau hanya sebatas “life service”, atau hanya sebatas “barang dagangan” yang dijual pada saat-saat kampanye untuk meraup simpati masyarakat semata?.